CINTA DUNIA
Fase pertama dimulai dari ketertarikan, yaitu tarik-menarik yang lahir dari faktor eksternal seperti kecantikan, ketegasan, penampilan, status, atau hal-hal yang memicu kekaguman. Ketertarikan ini sering disalahpahami sebagai cinta, padahal ia bersifat magnetik dan berenergi rendah. Di fase ini biasanya muncul kecemburuan, rasa memiliki, kekecewaan, dan benturan karena hubungan digerakkan oleh ekspektasi dan kebutuhan, bukan oleh kejernihan hati. Ketertarikan mudah pecah karena setiap ilusi atau gambaran ideal tentang pasangan cepat runtuh ketika realitas muncul.
Fase kedua dimulai ketika salah satu atau kedua pihak mulai belajar meruntuhkan ekspektasi dan keterikatan yang menempel pada cinta. Ketika ilusi ketertarikan hancur, terjadi penyaringan: muncul kejernihan dan keheningan batin yang menguji apakah rasa itu tetap ada atau justru hilang. Jika rasa itu masih hidup, maka yang tersisa adalah cinta yang lebih murni—cinta yang tidak lagi bertumpu pada harapan, tuntutan, atau kebutuhan untuk memiliki. Di fase ini cinta menjadi ruang batin yang tenang, tidak mencengkeram, tidak menuntut balasan, dan hanya menjadi kehadiran yang tulus tanpa benturan ego.
Fase ketiga adalah puncak dari perjalanan cinta, ketika cinta berubah menjadi tindakan yang sepenuhnya lahir dari ketulusan. Pada fase ini, cinta tidak lagi bergerak sebagai rasa, tetapi sebagai natur: sebagai pemberian yang murni, lepas, dan tanpa motif. Memberinya tidak memakai perhitungan, tidak memakai transaksi, tidak menunggu respons, dan tidak mengharapkan imbalan. Cinta memberi seperti Tuhan kepada hamba-Nya, seperti orang tua kepada anaknya—menjaga, mengayomi, mengasihi, memberi perhatian, dan memberikan yang terbaik tanpa sedikit pun keinginan untuk mengambil kembali. Cinta jenis ini tidak membutuhkan timbal balik untuk tetap hidup.
Di fase ini cinta juga menyerupai matahari yang menyinari tanpa pernah meminta cahayanya dikembalikan, seperti air yang menghidupi tanpa menuntut balasan, seperti alam semesta yang memberi ruang, udara, dan kehidupan tanpa meminta apa pun dari makhluknya. Cinta menjadi seperti cahaya: memancar hanya karena ia adalah cahaya itu sendiri. Cinta menjadi seperti alam: memberi karena memang begitulah hakikatnya. Inilah fase ketika seseorang tidak hanya merasakan cinta, tetapi telah menjadi cinta—cinta yang hanya bisa memberi, yang mengalir tanpa syarat, yang hidup tanpa menggenggam, dan yang memancar tanpa pernah meminta apa pun kembali.
copas
05.53
tosuro
Komentar
Posting Komentar