KERIS TAPI BUKAN KERIS
Keris dan Sumpah yang Tak Pernah Mati
Di balik bilahnya yang berlekuk, keris bukan sekadar besi yang ditempa.
Ia adalah ingatan.
Ia menyimpan bisik sumpah, darah yang mengering, dan doa-doa yang salah ucap.
Keris lahir bukan hanya dari api dan palu,
melainkan dari laku sunyi empu—
puasa yang panjang, mantra yang dibisikkan di antara denyut jantung,
dan niat yang ditanam lebih dalam dari tanah kubur.
Konon, setiap lekuknya adalah tangga,
bukan menuju cahaya,
melainkan ke ruang batin tempat nafsu, amarah, dan kuasa saling berkelindan.
Salah satu lekuk menyimpan keberanian,
lekuk lain menyimpan kutukan.
Saat malam turun dan angin berhenti bernapas,
keris tidak tidur.
Ia mendengar.
Ia menimbang siapa yang layak menggenggam gagangnya
dan siapa yang hanya pantas menjadi korban takdirnya sendiri.
Banyak yang mengira keris adalah senjata,
padahal ia adalah perjanjian.
Siapa yang memegangnya tanpa restu batin,
akan perlahan kehilangan arah—
rezeki retak, jiwa keruh,
dan bayangan sendiri terasa lebih berat dari tubuh.
Ada keris yang menolak darah,
namun haus pengaruh.
Ada pula yang diam di sarungnya bertahun-tahun,
menunggu satu malam ketika pemiliknya tergelincir oleh kesombongan.
Saat itu, keris akan berbicara—
bukan dengan suara,
melainkan dengan runtuhnya hidup.
Jika kau mendengar bunyi lirih seperti napas di tengah kesunyian,
jangan menoleh ke arah angin.
Bisa jadi itu keris lama yang terjaga,
mengingatkan bahwa tidak semua pusaka ingin diwarisi,
dan tidak semua warisan membawa keselamatan.
Karena keris tidak memilih tangan yang kuat,
ia memilih jiwa yang sanggup menanggung akibat.
copas
eng
sleman 21.59
Komentar
Posting Komentar